Kisah pencarian Abu Bakar Ruben dimulai sejak ia berada di bangku kuliah. Saat itu ia ditimpa banyak masalah. Teman akrabnya meninggal kerana kecanduan dadah. Orangtuanya bercerai dan ia mengalami kesulitan kewangan.
"Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?" tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi sebab bagi Ruben untuk meneliti agama.
Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. "Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristian, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis," ungkap Ruben. Agama pertama yang ia cuba pelajari adalah Kristian. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. "Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung tentang apa ertinya," tutur Ruben.
"Mereka kemudian memberitahu bahwa Tuhan mencintai saya." Ruben keheranan. "Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan anjing kepunyaannya pun tidak mencintai saya," tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan jenis orang yang boleh dia,bil kira. Meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.
Tidak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. "Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata 'Oh jawabannya ini saudaraku' sambil berpendapat," tutur Ruben.
"Setiap kali mereka menjawab mereka memberi pendapat mereka, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristian," katanya. Tentunya belum diambil kira perbezaan dalam gereja. Antara satu pendeta dengan pendeta lain memiliki intepretasi berbeza dan saling mengdakwa antara satu sama lain. "Injil sendiri sudah berbeza dan intepretasi bermacam dan setiap orang boleh melakukan, itu sangat membingungkan," ujarnya.
Berikutnya ia melakukan kajian dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut hindu teman kerja part-time beliau. "Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah." Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. "Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logik dan sulit untuk dipahami."
Mengkaji lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. "Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi kerana itu saya juga mencuba mencari pengetahuan apa itu Yahudi,' tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.
Hingga suatu saat ia bertemu temannya yang beragama Kristian. "Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?" Tanya teman Ruben. Ia menjawab semua, mulai Kristian, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang menarik hatinya. Si teman bertanya lagi, "Bagaimana dengan Islam?". Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemuhan, "Apa, Islam? Buat apa saya ingin ambil tahu agama terorisme? Itu gila."
Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. "Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakkan saya, yang jelas saya mengenakan kasut, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu," tutur Ruben. Ketika masuk masjid, Ruben merasa cemas. "Saya berpikir 'Aduh saya akan mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang kelihatan," tuturnya. Ketika itu seorang lelaki Timur Tengah berperawakan besar dengan jambang tebal mengenakan jubbah mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.
Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. "Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu," kata Ruben. Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur'an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.
"Itu benar-benar menghentak saya," kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut? mengapa menggunakan hijab? mengapa memiliki istri empat?. "Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur'an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid," tutur Ruben.
"Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak memberi pendapat akal," ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, "Saya ingin tahu tentang pendapat anda tentang ini, tentang aturan itu." Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, "Saya tidak mungkin dan tidak boleh bercampur pendapat tentang Firman Tuhan".
"Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat," ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. "Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya."
Ia memandang Al Qur'an tak hanya benar tetapi juga logik dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur'an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang berubah hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.
"Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan," ujarnya. Enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan petanda lain untuk menguatkan keputusannya. Ia duduk diam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. "Terus terang sangat kecewa. Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. "Aduh tolong jangan kecewakan aku Tuhan. Saya lagi-lagi sungguh kecewa." tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 16:12)
Membaca ayat itu Ruben tersadar. "Betapa angkuhnya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mahu. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua," tutur Ruben. Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. "Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid." Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.
Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Sangat pelat, ketika disuruh saya ucapkan 'Asyhadu' saya jawab "As, apa?" sampai berulang kali. Menggelikan." kenang Ruben. Mereka menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan syahadat dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak boleh diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.
Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. "Saya merasa ringan," ujarnya. "Satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita," tutur Ruben berkelakar.
"Tapi itu peristiwa sangat berharga dan tidak boleh saya lupakan. Saya bahagia kerana saat itu juga saya mendapat banyak saudara."
Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. "Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memikul AK 47 dan memegang bom," selorohnya. "Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka melihat perubahan saya." tutur Ruben.
Kehairanan, ayahnya pun ikut membaca Al Qur'an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. "Kamu menjadi orang yang lebih dipercayai dan bertanggungjawab dan boleh diminta tolong,'kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. "Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini."
"Saya pun mulai bertanya apa sebenarnya tujuan hidup itu?" tuturnya. Peristiwa sulit yang terjadi hampir bertubi-tubi itu menjadi sebab bagi Ruben untuk meneliti agama.
Ruben dibesarkan di Melbourne oleh orangtua yang tak percaya Tuhan. "Saat kecil saya memang dibesarkan untuk menganut Kristian, tapi orang tua saya atheis, sehingga saya cenderung memiliki pandangan atheis," ungkap Ruben. Agama pertama yang ia cuba pelajari adalah Kristian. Kebetulan seorang teman mengundangnya untuk datang ke kemah keagamanan. "Mereka bernyanyi, suara mereka bagus, tapi saya bingung tentang apa ertinya," tutur Ruben.
"Mereka kemudian memberitahu bahwa Tuhan mencintai saya." Ruben keheranan. "Bagaimana mungkin tuhan mencintai saya sedangkan anjing kepunyaannya pun tidak mencintai saya," tuturnya. Rupanya saat itu kehidupan Ruben tak tentu arah. Ia bukan jenis orang yang boleh dia,bil kira. Meskipun yang meminta bantuan adalah orang tuanya dan ia memiliki seekor anjing yang kemudian tak pernah ia urus.
Tidak menemukan apa yang ia cari ia pun melangkah lagi, kini giliran Katholik dan Anglican Baptis. Namun ada hal yang membuat ia terganggu setiap saat ia bertanya kepada pemeluknya. "Mereka akan membuka injil dan kemudian berkata 'Oh jawabannya ini saudaraku' sambil berpendapat," tutur Ruben.
"Setiap kali mereka menjawab mereka memberi pendapat mereka, sehingga saya menyimpulkan tentu banyak sekali intepretasi dalam Kristian," katanya. Tentunya belum diambil kira perbezaan dalam gereja. Antara satu pendeta dengan pendeta lain memiliki intepretasi berbeza dan saling mengdakwa antara satu sama lain. "Injil sendiri sudah berbeza dan intepretasi bermacam dan setiap orang boleh melakukan, itu sangat membingungkan," ujarnya.
Berikutnya ia melakukan kajian dengan Hindu. Ia berteman dengan seorang penganut hindu teman kerja part-time beliau. "Saya kemudian dikenalkan dengan tuhan berkepala gajah." Lagi-lagi Ruben bertanya, mengapa tuhan harus berkepala gajah, apa hubungan gajah dengan tuhan. "Mengapa tidak singa? lebih perkasa. Bagi saya sangat tidak logik dan sulit untuk dipahami."
Mengkaji lebih jauh ia menyelidiki agama Yahudi. "Ya nama saya Abu Bakar Ruben, berasal dari Rubenstein, nama yang sangat Yahudi kerana itu saya juga mencuba mencari pengetahuan apa itu Yahudi,' tuturnya. Namun tak ada satupun dari keyakinan itu yang mengena di hatinya.
Hingga suatu saat ia bertemu temannya yang beragama Kristian. "Saya ditanya bagaimana pencarianmu, apa saja yang sudah kampu pelajari?" Tanya teman Ruben. Ia menjawab semua, mulai Kristian, Katholik, Hindu, Budha, Yahudi, Anglikan tapi tak ada yang menarik hatinya. Si teman bertanya lagi, "Bagaimana dengan Islam?". Pertanyaan langsung disambar Ruben dengan cemuhan, "Apa, Islam? Buat apa saya ingin ambil tahu agama terorisme? Itu gila."
Tapi respon tubuh Ruben berkata lain. "Saya tidak tahu mengapa dan apa yang menggerakkan saya, yang jelas saya mengenakan kasut, berpakaian rapi dan pergi ke masjid. Saya tak punya petunjuk, bagaimana saya melakukan itu," tutur Ruben. Ketika masuk masjid, Ruben merasa cemas. "Saya berpikir 'Aduh saya akan mati di sini, saya satu-satunya kulit putih yang kelihatan," tuturnya. Ketika itu seorang lelaki Timur Tengah berperawakan besar dengan jambang tebal mengenakan jubbah mendekatinya. Ia bernama Abu Hamzah.
Tiba-tiba diluar dugaan Ruben, Abu Hamzah menyapanya dengan ramah dan bahkan meminta seorang yang lain untuk membuatkan teh bagi Ruben. "Tak pernah saya bayangkan bakal mendapat perlakuan seperti itu," kata Ruben. Ia pun mulai banyak bertanya, tentang teman-temannya yang telah meninggal, tentang apa itu masa lalu dan masa yang akan datang. Abu Hamzah, seperti yang dituturkan Ruben, berdiri mengambil Al Qur'an dan membuka kitab itu lalu menunjukkan sebuah ayat dan meminta Ruben membaca seraya berkata ini jawabannya.
"Itu benar-benar menghentak saya," kenangnya. Ia pun menanyakan hal-hal sulit lain, seperti mengapa menumbuhkan janggut? mengapa menggunakan hijab? mengapa memiliki istri empat?. "Saya pikir itu adalah pertanyaan-pertanyaan sulit, tapi sungguh luar biasa, mereka selalu membuka Al Qur'an dan lalu memberikan kepada saya untuk dibaca. Itu selalu mereka lakukan sebelum mengulas lebih jauh dengan buku hadis yang juga ada di dalam masjid," tutur Ruben.
"Mereka selalu membuka Al Quran untuk menjawab dan sama sekali tidak memberi pendapat akal," ujarnya. Kemudian Ruben pun bertanya, "Saya ingin tahu tentang pendapat anda tentang ini, tentang aturan itu." Diluar harapan Ruben, mereka menjawab, "Saya tidak mungkin dan tidak boleh bercampur pendapat tentang Firman Tuhan".
"Subhanallah, itulah yang benar-benar menyentuh saya dan selalu membuat saya teringat," ujar Ruben yang telah memeluk Islam saat menuturkan kisahnya. Malamnya ia pun membawa pulang Al Quran. "Dan ketika saya membaca, saya bukan hanya menemukan kisah, tapi seolah-olah ada yang memandu saya."
Ia memandang Al Qur'an tak hanya benar tetapi juga logik dan ilmiah. Ia takjub bagaimana Al Qur'an juga menguraikan proses penciptaan dan kelahiran manusia, penuturan proses sel telur yang berubah hingga tercipta gumpalan darah, tumbuh tulang, peniupan ruh hingga akhirnya membentuk janin yang siap dilahirkan ke bumi.
"Inilah yang saya cari, ini yang saya perlukan," ujarnya. Enam bulan sebelum ia sampai pada kesimpulan itu. Tapi ketika hendak membuat perubahan besar, Ruben menginginkan petanda lain untuk menguatkan keputusannya. Ia duduk diam di tengah ruangan dengan satu lilin menyala. Lama ia menunggu. Tak satupun hal terjadi. "Terus terang sangat kecewa. Ia kembali menunggu pertanda kedua. Lagi-lagi tak ada perubahan, tak ada petunjuk. "Aduh tolong jangan kecewakan aku Tuhan. Saya lagi-lagi sungguh kecewa." tutur Ruben yang akhirnya memutuskan membuka Al Quran. Ia terhenti oleh beberapa ayat, salah satunya berbunyi "Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya) (QS 16:12)
Membaca ayat itu Ruben tersadar. "Betapa angkuhnya saya menuntut tanda spesifik seperti yang saya mahu. Matahari dan semua ciptaannya di muka bumi adalah tanda bagi kita semua," tutur Ruben. Begitu yakin dengan keputusannya ia kembali berkunjung ke masjid. "Saya tidak tahu harus berbuat apa dan harus mengucapkan apa, jadi saya putuskan ke masjid." Tiba di masjid Ruben terkejut menjumpai ruangan begitu penuh orang. Rupanya saat itu hari pertama Ramadhan.
Mengutarakan niatnya, ia pun diminta untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Sangat pelat, ketika disuruh saya ucapkan 'Asyhadu' saya jawab "As, apa?" sampai berulang kali. Menggelikan." kenang Ruben. Mereka menegaskan pada Ruben bahwa ia harus mengucapkan syahadat dalam bahasa aslinya, Arab. Kalimat itu tak boleh diucapkan dalam bahasa Inggris. Berlatih beberapa saat, lidah Ruben akhirnya lancar mengucapkan ikrar tersebut. Pada hari pertama Ramadhan itu ia pun resmi menjadi Muslim.
Begitu selesai Ruben mengaku ada beban yang tertarik dan lepas keluar dari tubuhnya. "Saya merasa ringan," ujarnya. "Satu persatu mereka mendatangi saya, menjabat tangan saya dan mencium saya. Bahkan saya belum pernah mendapat ciuman sebanyak itu dari wanita," tutur Ruben berkelakar.
"Tapi itu peristiwa sangat berharga dan tidak boleh saya lupakan. Saya bahagia kerana saat itu juga saya mendapat banyak saudara."
Mengetahui ia masuk Islam, orangtuanya sempat cemas. "Mereka takut tiba-tiba nanti saya sudah memikul AK 47 dan memegang bom," selorohnya. "Saya jelaskan itu tidak mungkin. Terus terang saya merasa tenang. Mental saya lebih stabil, saya juga lebih fokus dan mereka melihat perubahan saya." tutur Ruben.
Kehairanan, ayahnya pun ikut membaca Al Qur'an. Mereka berkata kepada Ruben sejak menjadi Muslim ia menjadi pribadi lebih baik. "Kamu menjadi orang yang lebih dipercayai dan bertanggungjawab dan boleh diminta tolong,'kata Ruben menirukan ucapan ayahnya. "Itulah yang saya rasakan dan saya akan terus meyakini dan mendalami agama ini."
No comments:
Post a Comment